Cerpen tema Budaya (karya pribadi)

Potret Budaya Yogyakarta
Pakaian-pakaian hangat dan jaket tebal telah ku masukkan ke dalam koper satu persatu. Penantian panjang yang kutunggu selama ini telah berbuah manis. Gelar sarjana Photography yang aku perjuangkan selama 5 tahun terakhir tidaklah percuma. Terpisah jauh dari rumah membuatku merindukan kampung halamanku Yogyakarta.
***
Suara lantunan gending-gending jawa mengalun lembut terdengar di seluruh area Keraton Kasepuhan Yogyakarta. Melukiskan sebuah gambaran kedamaian dan ketenangan yang terlihat sempurna. Cuitan burung-burung yang nyaring dan bersautan membentuk harmoni nada penghanyut jiwa. Hembusan angin pagi yang terasa sejuk menembus kulit membuat sepasang mata tidak bisa terpejam. Gerakan lentik jari tangan anak-anak perempuan dipadu dengan kelincahan kakinya adalah komposisi sempurna sebuah kebudayaan.
Drrtt.... Drrrtt... Drrtt...
Getaran handphone di saku celananya, membuat kekagumannya terhenti sejenak.
Hallo.. assalamualaikum. Ucapnya dengas suara berat khas laki-laki.
Waalaikumsalam Rey. Apa kamu sudah sampai Jogja ? Balas seorang gadis di
  seberang.
Sudah, kau tau vei, Jogja indah banget ya. Setelah 5 tahun kita tinggal di London, suasana Jogja jadi beda. Tapi, satu hal yang selalu aku suka dari tempat ini. Kebudayaan yang masih murni dan terjaga. Apalagi di Keraton kesepuhan Yogyakarta, waktu masih pagi aja, gending jawa udah dimainkan dan itu merdu banget. Tarian anak kecilnya juga keren. Kamu sih gak mau ikut aku pulang. Omelnya tidak mau berhenti.

Salahin tuh petugas Passport di kantor Imigrasi, lagian, kamu ngurus perpanjangan passport gak ngajak-ngajak, dipikir enak apa nunggu di London sendirian. Sebagai ganti dari kesalahan kamu, aku gak mau tau, besok jemput aku di Bandara Adi Sucipto, dan gak pake nolak.
"Ok gampanglah, emang udah berangkat ?" tanya pria itu lagi.
"Nanti malam. Udah dulu ya, aku mau nerusin packing barang-barang nih. Assalamualaikum."
"Waalaikumsalam."
Mereka menutup telepon hampir bersamaan. Mereka adalah Reihan Adinata dan Noveine Reindiana, pelajar asal Yogyakarta yang menempuh pendidikan photography di University for Creative Arts di London, Inggris. Jiwa seni yang mengalir di darah kedua anak ini tumbuh sejak mereka duduk dibangku Sekolah Dasar. Melukis dan menggambar merupakan tanda seni yang perlahan mulai muncul ketika mereka masih kecil. Persahabatan mereka dimulai ketika seorang anak laki-laki berumur 7 tahun penasaran dengan seorang anak perempuan yang selalu berkutik dengan pensil warna dan buku gambar di tengah taman sendirian. Menggambar hamparan bungan warna-warni yang bermekaran ditambah kupu-kupu yang berterbangan menghampiri bunga terindah untuk menghisap nektar. Anak laki-laki itu tertarik akan kesamaan hobi yang mereka miliki. Mulai saat itulah mereka mulai bersahabat.
Rey dan Vei kuliah di universitas yang sama. Mereka kuliah di University for Creative Arts di London, Inggris. Mereka mendapat beasiswa photography S1 di sana, mereka sempat hampir menolak beasiswa untuk berkuliah di sana dikarenakan enggan meninggalkan budaya dan kesenian Indonesia yang begitu melimpah. Namun, dengan berat hati mereka menerima kesempatan itu, karena mereka bermimpi untuk memperlihatkan budaya Indonesia ke kancah Internasional melalui Photography. Kesempatan seperti itu hanya datang satu kali, pikir mereka.
***
            Aku menapakkan kedua kakiku  di tanah kelahiranku Yogyakarta, setelah sekian lama aku meninggalkannya demi menempuh pendidikan di London. Lima tahun sudah aku meninggalkan surga budaya di Indonesia. Surga yang kental akan nilai kebudayaan luhur dan nilai gotong royong yang masih terjaga.
            Inilah saatnya aku mengabdikan diriku untuk negaraku Indonesia, berusaha sekuat tenaga agar nilai-nilai budaya itu tidak di ambil alih oleh negara lain. Aku berusaha menggunakan bakatku untuk memamerkan keanekaragaman budaya di tanah kelahiranku melalui media dua dimensi. Hal yang menjadi cita-citaku sedari kecil, photography.
            Setengah jam lamanya aku menunggu seseorang yang telah berjanji untuk menjemputku, rasa lelah dan kerinduan yang aku miliki tumpah seketika setelah menatap sepasang mata nan indah milik seorang wanita paruh baya. Ia mengenakan pakaian khas kota Jogja, Kebaya dan Jarit. Kebaya merah muda yang ia kenakan dipadu dengan jarit batik khas Jogja dengan motif lereng menambah kesan anggun di badan orang yang biasa aku panggil dengan sebutan Ibu. Bagi orang Yogyakarta, batik bermotif lereng melambangkan kesuburan, harapan untuk kemakmuran, tekad untuk memiliki keberanian demi melaksanakan apa yang penting bagi bangsa dan rakyat.
            Air mata yang selama ini ku bendung, berhasil meluluhlantahkan perasaanku dengan terus menetes. Sebuah perasaan yang selalu ada di hati setiap anak yang jauh dari ibunya. Rasa rindu mendalam yang aku rasakan meleleh seketika, saat kedua tangannya memelukku dengan penuh kasih sayang, mencium pipi kanan dan kiriku secara bergantian. Seorang malaikat yang dikirimkan Tuhan untuk memperindah hidupku adalah orang yang akan selalu aku hormati kapanpun dan akan kujaga selamanya.
            “Ibu...” ucapnya disaat pelukan itu diakhiri
                Aku mencium punggung tangan malaikat yang merawatku sedari bayi, disaat seperti inilah terkadang aku merindukan sosok seorang ayah yang tak pernah aku temukan di sepanjang hidupku. Namun, ibu berusaha untuk menjadi ibu sekaligus sosok seorang ayah yang selalu menjagaku dan menyayangiku.
                “Gimana kabarmu nduk*.” ucapnya dengan logat jawa yang khas.
“Baik bu, gimana kabar si mbok dan keluarga di sana ?” tanyanya sambil berjalan meninggalkan bandara Adi Sucipto.
  “Alhamdulilah semuanya sehat Novein. Kamu datang pada saat yang tepat, si mbok mu membuatkan sebuah batik tulis yang indah buatmu. Anak-anak di sanggar yang kau bangun sudah sangat mahir dalam menarikan Tari Serimpi dan tarian Jawa lainnya.” ucap Ibu panjang lebar.
            “Aku sudah tau bu, Rey sudah menceritakan semuanya.”
                “Anak itu memang sudah bikin heboh sendiri di hari pertamanya.”
                Novein tidak menanggapi pernyataan ibunya, ia sedang fokus memotret dan mengabadikan setiap detail keindahan panorama sepanjang jalan yang tak akan pernah ternilai oleh apapun.
            Indahnya pemandangan yang tidak bisa dilewatkan, begitu aku memasuki area Keraton. Kulihat Ibu-ibu dengan kebaya dan jarit senada membawa canting di tangan kanan mereka. Banyak foto yang ku abadikan ketika sampai di sini. Kebudayaan inilah yang selalu aku rindukan di London. Aku menangkap sepasang mata yang sama-sama menatapku, aku segerera mengalihkan muka dan pegi mencari objek foto lain. Sebenarnya aku hanya bercanda, aku ingin menggodanya karena ia tidak menjeputku hari ini, tetapi kalau boleh jujur aku bahagia karena yang menjemput dan menyambut kedatanganku adalah orang yang ingin kutemui untuk yang pertama kalinya.
          “Aku minta maaf Vei, aku tidak bisa menjemputmu hari ini, karena aku fokus belajar membatik sama si mbok.” ucap Rey dengan wajah memelas.
Tawa ku pecah seketika saat melihat wajah memelas sahabatku itu. Ia memang sahabat terbaik yang aku miliki.
            “Oh gitu, belajar bati juga gak ngajak-ngajak ?” goda Vei lagi.
            “Ini mau ngajak, taruh tuh kamera.” ucap Rei sekit kesal.

            Aku berjalan mengikuti sahabatku ke tempat si mbok berada. Beliaulah yang akan membantuku membuat bati tulis pertamaku. Dengan perasaan cemas dan khawatir, aku mulai memasukkan canting ke dalam malam yang dipanaskan, meniup dengan perlahan dan menitikkan canting yang birisi malam itu ke atas selembar kain mori yang sudah di motif menggunakan pensil. Karena masih pemula, aku mencanting batik yang sudah diberi motif dengan pensil sebelumnya. Tanganku mengikuti alur motif itu, sesekali kucelupkan cantingku kedalam malam panas. Setelah cukup lama, aku baru mendapat seperempat bagian dari batik yang kubuat. Aku memberikan canting ke si mbok dan membiarkan wanita itu menyalurkan bakatnya. Tangan-tangan keriput si mbok terlihat sangat lincah menggerak-gerakkan canting. Aku mengambil kameraku dan memotret si mbok dan juga bakatnya. Aku beralih ke sanggar tari yang aku bangun setahun lalu. Terlihat anak-anak perempuan dengan selendang yang cukup panjan terkgantung di lehernya. Ku abadikan setiap detail yang tak boleh aku lewatkan.   
             Ku pikir sudah cukup, aku bergegas pulang dan menyiapkan segala hal untuk nanti malam. Reihan sudah pulang setelah mengantarku ke si mbok tadi, ia yang akan menyiapkan pertunjukan nanti malam. Sebuah pertunjukkan wayang kulit yang digelar setiap malam minggu. Namun kali ini spesial, karena pertunnjukan ini digelar untuk meresmikan “Gallery Art and Culture” yang ku dirikan bersama Reihan untuk menampilkan keanekaragaman budaya dan keindahan panorama Yoyakarta yang telah kami abadikan sebelumnya. Kami ingin menarik wisatawan lokal dan mancanegara untuk melihat betapa kayanya kebudayaan yang dimiliki Indonesia, Tidak hanya itu, aku dan Reihan berencana membuat “Gallery Art and Culture” di setiap kota di Indonesia, dengan mengusut kebudayaan lokal di setiap daerahnya. Cita-cita dan harapan ku juga Reihan akan tercapai dengan berdirinya “Gallery Art and Culture”. Semoga minat anak-anak muda kepada kebudayaan negaranya mulai tumbuh lagi seiring waktu. Menambah kecintaan mereka kepada kebudayaan nusantara yang mulai pudar termakan zaman.
***
Keterangan      : * = panggilan untuk anak perempuan dalam bahasa jawa


---


RINZANI CYZARIA PUTRI

XI MIA 6 / 29

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

LPJ (Laporan Penanggungjawaban) Donor Darah Sukarela

Makalah Thaharah menurut Imam Maliki

Pendidikan lingkungan hidup (PLH) tentang polusi tanah