Makalah Thaharah menurut Imam Maliki

BAB I
PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang
Seiring dengan kemajuan zaman nampaknya agama islam sedikit tergoyahkan     pemikiran-pemikirannya tentang teori-teori ibadah dalam madzahib al-fiqh. Dalam thaharah misalnya banyak sekali perbedaan yang mencolok antara satu madzhab dengan madzhab yang lainya, sampai terdapat pertengkaran yang bersfat argumental antara masing-masing madzhab, untuk itu kita akan mencoba membahas dan mencari dalil-dalil yang berkaitan didalamnya. Dalam makalah ini kami selaku penulis akan menjelaskan Thaharah lebih detail menurut Imam Maliki.
1.2 Rumusan Masalah
 Adapun rumusan masalah dalam Makalah ini adalah:
1.Apakah definisi thaharah yang mencakup wudlu dan mandi?
2. Adakah dalil dari Imam Maliki yang menyatakan tentang thaharah?
1.3 Tujuan Penyusunan Makalah
 Ada beberapa tujuan dari penyusunan Makalah ini diantaranya :
1.Mengetahui devinisi umum dan ruang lingkup thaharah.
2.Mengetahui dalil dari Imam Maliki yang berhubungan dengan Thaharah
1.4 Manfaat Penyusunan Makalah
 Adapun beberapa manfaat yang dapat kita peroleh dari makah ini, antara lain:
1.      Kita dapat bersuci dengan baik dan benar
2.      Kita dapat mengetahui hukum (dalil) bersuci
1.5 Metodologi Penyusunan Makalah
Metodologi penyusunan Makalah yang kami gunakan adalah studi pustaka yaitu dengan mengumpulkan beberapa referensi dari buku-buku atau artikel.

BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Biografi Imam Maliki
Nama lengkap Imam Malik adalah Malik Bin Anas Bin Abi Amr. Beliau dilahirkan di kota Madinah pada tahun 93 H. Dan beliu meninggal pada tahun 179 H. Di tempat kelahirannya itu. Di ceritakan bahwa Imam Malik tidak pernah pindah atau meninggalkan kota Madinah sampai akhir hayatnya, oleh karena itu beliau mendapat gelar Dar al-Hijrah. Dengan demikian, watak corak kehidupannya sangat dipengaruhi oleh lingkungan madinah yang masyarakatnya bersahaja dan jauh dari pengaruh kebudayaan luar ketika itu.
Imam Malik adalah seorang yang sangat cerdas dan genius, Imam Malik mempunyai hafalan yang sangat kuat. Jika beliau mendengar sesuatu yang beliau dengar, beliau langsung dapat menghafal dan tidak pernah lupa. Pernah suatu hari beliau mendengar 40 hadist sekaligus dan kemudian besok harinya dikemukakan kembali kepada gurunya hafalan-hafalan hadist tersebut dan tidak satu pun yang luput dari ingatan beliau. Kekuatan hafalan Imam Malik memang sangat luar biasa, sehingga melebihi teman-temannya ketika itu. Di samping itu, kebiasaan Imam Malik dalam belajar, ialah ia yang selalu menulis hafalannya dalam buku catatan Imam Malik. Sehingga ini pula yang menjadikannya, di samping menghafal juga menulis.
Diceritakan bahwa kecermelangan dan kecerdasannya, Imam Malik dalam usia yang relatif cukup muda – lebih kurang usia tujuh belas tahun – telah mendapat kepercayaan dan izin dari gurunya untuk mengajar di Masjid Madinah.
Sebagai mana diungkapkan oleh Sya’ban Muhammad Isma’il, bahwa Imam Malik berkomentar tentang keizinan yang diberikan kepadanya untuk mengajar di Masjid Madinah yaitu “Ma jalastu lilfutya wa al-Hadist hatta syahida li sab’una syaikhan min ahli al-‘ilm anni mardat lizalik” (saya tidaklah mungkin menduduki posisi seperti ini untuk berfatwa dan mengajarkan Hadist kecuali setelah mendapat kasaksian dari tujuh puluh orang syaikh ahli ilmu serta saya ttelah di izinkan untuk itu).
Dari sini Imam Malik mulailah menunjukkan sikap dan pendapatnya tentang beragai hal, baik yang berkaitan dengan fiqh dan manhajnya (dasar-dasar penetapannya) maupun yang berkaitan dengan hadist itu sendiri. Oleh karena itu, mulai pulalah pendapat dan pandangannya ke berbagai daerah serta namanya semakin popular dan harum di kalangan umat Islam.
Setelah tampil Imam Malik dengan pemahaman tersendiri tentang ajaran Islam, maka orang berbondong-bondong dari berbagai penjuru datang ke Madinah untuk belajar kepada Imam Malik penuh sesak oleh orang-orang yang ingin menimba ilmu kepada Imam Malik.
Hampir sebagian besar kehidupannya, digunakan untuk mengajar dan menelaah ilmu yang disebarkan kepada murid-muridnya. Tidak kurang dari tujuh puluh tahun lamanya Imam Malik tidak kenal lelah mengajarkan ilmunya yang dikuasainya.
Pemikiran Imam Malik dan dasar-dasar istibatnya berkembag luas di masyarakat Islam yang dijadikan pegangan dan dasar pijakan mazhab ushul Maliki. Mazhab Maliki tersebar di daerah-daerah Madinah dan Hijaz, Bahrain, Kuait, Andalusia, Maroko, Afrika Timur dan Afrika Barat.
Dilihat dari dasar-dasar istinbatnya (tariq al-istinbat) yang digariskan oleh Imam Malik, sebagai diungkapkan oleh Muhammad Ali as-Sayis adalah pertama, al-kitab; ke dua al-sunnah; ketiga, al-Ijma’; ke empat, al-Qiyas; ke lima, Amal ahli Madinah; ke enam, Maslahat Mursalah atau dikenal dengan sebutan al-Istihlah; ketujuh, Qoul Sahabi; ke delapan, Istishsan; kesembilan, al-Zara’I atau al-Zariah; ke sepuluh, al-‘Urf dan ke sebelas, al-istishab. Dan mengenai sunnah atu hadist, Imam Malik menggunakan Hadist Mursal.
2.2 Pemikiran Imam Malik tentang pengambilan dasar hukum.
Sebagaimana mazhab Hanafi, kalangan mazhab Maliki juga menyusun dan menetapkan dasar-dasar pijakan dalam istinbat hukum dengan berpegangan kepada sumber-sumber dalil yang telah mereka gariskan, yaitu sebagai berikut.

a. Kitab al-Qur’an
Sebagai mana telah disinggung sebelum ini, tentang sumber dalil dalam Hukum Islam, maka al-Qur’an merupakan sumber utama dalam pembinaan hukum Islam. Seluruh fuqoha’ dan umat Islam menyatakan bahwa al-Quran’ adalah sumber utama dari hukum Islam. Dilihat dari sumber kebenarannya sebagai sumber, maka al-Quran adalah merupakan sumber dari beberapa sumber.
Dengan kata lain, al-Qur’an menempati posisi paling awal dari tertib sumber hukum dalam berhujjah. Adapun sumber-sumber lainnya merupakan pelengkap dari cabang dari Al-Qur’an. Karena pada dasarnya sumber-sumber lain itu akan kembali kepada Al-Quran. Al-Gozali, malah mengatakan, bahwa hakikatnya sumber hukum ita adalah satu, yaitu firman Allah SWT. Sebab, Sabda Rosululloh bukanlah hukum, tetepi sabda beliau merupakan pemberitaan tentang bermacam-macam hukum.
b. Al-Sunnah
Dilihat dari segi pembagian sunnah menjadi mutawattir, masyhur dan ahad, saebagaiman telah disebutkan diatas, maka sunnah mutawttir,masyhur dan ahad, merupakan sumber dan dasar pembinaan hukum Islam. Abdul Wahab Khalaf meyebutkan bahwa sunnah, dari segi kehujjahannya ia merupakan sumber dalam melakukan istinbat hukum dan menempati urutan kedua setelah Al-Qur’an. Para mujtahid bila tidak menemukan jawaban dalam Al-Quran tentang peristiwa yang terjadi, mereka mencari dalam sunnah.
Namun demikian, dari ketiga macam pembagian sunnah yang telah disebutkan di atas, maka terhadap sunnah mutawatir seluruh baik Ulama ushul maupun ahli hadis sepakat atas kehujjahannya. Demikian pula terhadap sunnah masyhur dan sunnah ahad. Akan tetapi, para ulama berbeda pendapat tentang persyaratan pengamalan sunnah ahad.
Kalangan Malikiyah menyebutkan bahwa mereka menerima dan mengamalkan sunnah ahad jika tidak berlawanan dengan amal ahli Madinah. Dalam pandangan Imam Malik dan pengikutnya, bahwa amal ahli Madinah posisinya lebih kuat dari pada sunnah ahad.
Sikap mendahulukan amal ahli Madinah (praktek penduduk Madinah) dari sunnah ahad adalah didasarkan pada kenyataan bahwa kehidupan penduduk Madinah dipengaruhi oleh tradisi hidup nabi SAW dan tradisi kenabian ini terefleksi dalam sikap hidup penduduk Madinah yang secara faktual dijadikan sebagai dasar dalam melegalisasi berbagai persoalan tasyri’.
c. Al-ijma’
Ijma’ adalah kesepakatan/consensus yang terjadi antara para ulama, baik secara terbuka maupun tertutup. Yang dimaksud di sini adalah Ijma’sahabat maupun Ijma’ para mujtahid
Imam Malik sebagai salah seorang tokoh ulama Madinah juga berhujjah dengan Ijma’. Hasbi as-Shidqi menjelaskan bahwa Imam Malik paling banyak menyandarkan pendapatnya atas Ijma’ dan dalam kitab Muwaththa’ sering ditemukan pernyataan-pernyataan sesuatu yang telah menjadi kesepakatan maka berarti hal tersebut merupakan Ijma’ ahli fiqh dan ahli ilmu yang mana mereka tidak berselisih padanya.
Dari sini, Malik hanya menerima Ijma’ yang bersumber dari para ahli ijtihad. Dan di samping itu Imam Malik juga membicarakan secara khusus tentang tentang Ijma’ ahli Madinah lebih didahulukan dari khabar ahad dalam melakukan istinbat hukum.  Dengan demikian, Ijma’ yang menjadi hujjah bagi Malik dilihat dari pembentukannya ada dua macam yaitu Ijma’ ahli Madinah yang berdasarkan kesepakatan para mujtahid dan Ijma’ ahli Madinah yang berasal dari praktik penduduk Madinah. Akan tetapi, Ijma’ ahli Madinah yang diklaim oleh Malik sebagai suatu doktrin hukum, umumnya ditentang mayoritas ulama’ lainnya. Mayoritas ulama luar Madinah tidak memandang bahwa kesepakatan ulama Madinah atau praktik penduduk Madinah sebagai suatu Ijma.
d. Qoul Sahabat
Imam Malik menjelaskan bahwa qoul sahabat adalah hadis atau dianggap sebagai hadis yang wajib diamalkan, misalnya fatwa sahabat tentang manasik haji.
“Diriwayatkan dari Ibnu Umar RA tatkala dua kota ini (Kufah dan Basrah) telah ditaklukkan, mereka menghadap Umar dan mengadu; wahai Amirul Mukminin sesungguhnya Rasulullah SAW telah menentukan Qarnu al-Manazil sebagai Miqat bagi penduduk Najd yang melengkung dari jalur kami, sehingga memberatkan kalau kami harus melewatinya. Umar berkata: perhatikan garis hadapnya (jarak pintasnya) dari jalurmu. Maka beliau menentukan Dzatu ‘Irqin sebagai Miqat bagi mereka.(HR. Bukhari)
e. Amal Ahli Madinah
‘Amal Ahli Madinah (praktek penduduk Madinah) dianggap hujjah (dalil) oleh Imam Malik dengan alasan (1) pelakunya orang banyak (penduduk Madinah), maka mustahil bersepakat untuk berbohong; (2) penduduk Madinah secara berantai menerima pelajaran agama dari generasi sebelumnya sampai kepada Nabi; (3) ayat, hadis dan praktek hukum Islam hamper semuanya terjadi di Madinah, sehingga penduduk Madinah adalah yang pantas dianggap paling mengetahui pelaksanaannya.
f. Al-Qiyas
Qiyas adalah menghubungkan suatu masalah yang tidak nas hukumnya dengan masalah lain yang sudah ada nas hukumnya karena adanya kemiripan ‘illat hukum.
 Ulama’ ushul berpendapat bahwa aplikasi qiyas harus bertumpu pada empat rukun yang disebutkan ini. Dengan bertumpu pada empat rukun ini akan menghasilkan ketentuan hukum yang sebanding atau sama antara pokok dengan cabang. Berkenaan dengan rukun Qiyass ini, dalam sejumlah buku-buku ushul fiqh, ditemukan tiga versi unsur yang berbeda yaitu: pertama menyebutkan asal, fur’u (furu’), hukum asal dan ‘ilat; kedua menyebutkan asal, fur’u dan hukum asal dan ketiga; menyabutkan, asal, hukum asal, fur’u dan ‘ilat.
Dalam penggunaan qiyas Imam Malik sangat ketat; hal ini berbeda dengan Abu Hanifah yang leluasa menggunakannya.

g. Al-Masalih al-Mursalah
Al-Masalih al-Mursalah adalah kemaslahatan yang menjadi tujuan syara’ bukan kemaslahatan yang semata-mata berdasarkan keinginan dan hawa nafsu manusia saja. Sebab, disadari sepenuhnya, bahwa tujuan pensyari’atan hukum tidak lain adalah untuk merealisir kemaslahatan bagi manusia dalam berbagai segi dan aspek kehidupan mereka di dunia dan terhindar dari berbagai bentuk yang bisa membawa kepada kerusakan. Dengan kata lain, setiap ketentuan hukum yang telah digaris oleh syari’ adalah bertujuan untuk menciptakan kemaslahatan bagi manusia.
 Al-Masalihul Mursalah adalah suatu metode istinbat hukum yang didasarkan atas pertimbangan adanya kemaslahatan/kebaikan yang tidak tampak dalam dalil khusus. Metode ini dapat dikategorikan teori rasional. Menurut Ali Yafie, Imam Malik mempunyai doktrin bahwa rasio harus diperhatikan guna pertimbangan kemaslahatan.
 Tidak dapat disangka bahwa di kalangan mazhab ushul memang terdapat perbedaan pendapat tentang kedudukan maslahat mursalah dan kehujjahannya dalam hukum Islam baik yang menerima maupun yang menolak.
h. Al-Istihsan
Pada dasarnya Istihsan adalah berkaitan dengan penerapan atau pelaksanaan ketentuan hukum yang sudah jelas dasar dan kaidahnya secara umum baik nas, ijma’, atau qiyas, tetapi ketentuan hukum yang sudah jelas ini tidak dapat diberlakukan dan harus diubah karena berhadapan dengan persoalan yang khusus dan spesifik.
Dengan kata lain, istihsan pada dasarnya mengenyampingkan ketentuan umum yang sudah jelas dan pindah kepada ketentuan yang khusus karena adanya alas an kuat yang menghendakinya. Artinya, persoalan khusus yang seharusnya tercakup pada ketentuan yang sudah jelas, tetapi karena tidak mungkin dan malah tidak tepat diterapkan, maka harus berlaku ketentuan khusus sebagai pengecualian dari ketentuan umum atau yang sudah jelas tadi.
Bagi kalangan Malikiyah istihsan ialah mengamalkan dan memilih dalil yang terkuat dari dua dalil
هو العمل بأقوى الدليلين
Macam-macam Istihsan menurut Malikiyah:

1.Istihsan yang disandarkan pada Urf
2.Istihsan yang disandarkan pada Maslahat
3.Istihsan yang disandarkan pada keadaan untuk menghilangkan kesulitan

i. Al-Zarai’
Az-Zarai’ merupakan metode istinbat hukum yang ditarik dengan aturan logika berikut: apa yang membawa haram adalah haram, apa yang membawa halal adalah halal, apa yang mendatangkan kemaslahatan adalah dituntut, dan apa yang mendatangkan kerusakan diharamkan.
Dalil-dalil/kehujjahan Zarai’ adalah:
a.Al-Quran
يايها اللذين امنوا لا تقولوا راعنا وقولوا انظرنا واسمعوا
(البقرة: 2/104)
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu katakan (kepada Muhammad): "Raa'ina", tetapi katakanlah: "Unzhurna", dan "dengarlah (al-Baqarah: 2/104)
Dan Firman Allah
وسئلهم عن القرية التي كانت حاضرة البحر إذ يعدون
في السبت اذ تأتيهم حيتانهم يوم سبتهم شرعا ويوم لا يسبتون
لا تأتيهم كذلك نبلوهم بما كانوا يفسقون (الأعراف: 7/163)
Dan tanyakanlah kepada Bani Israil tentang negeriyang terletak di dekat laut ketika mereka melanggar aturan pada hari Sabtu, di waktu datang kepada mereka ikan-ikan (yang berada di sekitar) mereka terapung-apung di permukaan air, dan di hari-hari yang bukan Sabtu, ikan-ikan itu tidak datang kepada mereka. Demikianlah Kami mencoba mereka disebabkan mereka berlaku fasik. (al-A’raf: 7/163)
b.Al-Sunnah
دع ما يريبك الى ما لا يريبك
Tinggalkan apa yang membuatmu ragu, beralihlah kepada yang tidak meragukan.
ان الحلال بين وان الحرام بين وبينهما أمور متشبهات
Sesungguhnya perkara halal adalah jelas, dan perkara haram juga jelas, sedangkan di antara keduanya adalah sesuatu yang samar.
j. Al-‘Urf
‘Urf secara bahasa memiliki beberapa makna: sesuatu yang biasa yang dianggap baik dan sesesuatu yang luhur, firman Alloh: dan di atas A'raafitu ada orang-orang (QS. Al-A’raf: 46), berkesinambungan, firman Allah, Demi malaikat-malaikat yang diutus untuk membawa kebaikan (QS. Al-mursalat: 1).
Sedangkan secara istilahi adalah apa yang biasa dilakukan oleh manusia baik perbuatan maupun ucapan.
 Ada beberapa ulama’ yang mengatakan ‘urf dan ‘adat adalah satu kata, Ulama’ itu adalah An-Nasafi al-Hanafi, Ibnu Abidin, Rohawi dan Ibnu Nujaim. Namun ada ulama’ yang mengatakan bahwa ‘urf dan ‘adat berbeda, yakni ‘urf lebih umum dari pada ‘adat karena ‘urf meliputi ucapan dan perbuatan, sedangkan ‘adat terbatas pada kebiasaan yang bersifat Amali.
Dalil-dalil ‘Urf:
Al-Qur’an:
Jadilah engkau pema'af dan suruhlah orang mengerjakan yang ma'ruf, serta berpalinglah dari pada orang-orang yang bodoh. (QS. Al-A’raf: 199)
Hadist:
Apa yang dilihat umat Islam baik maka di sisi Allah juga baik dan apa yang dilihat oleh umat Islam buruk maka disisi Allah juga buruk. (HR. Ibnu Mas’ud)
Contoh ‘Urf, Imam Malik membolehkan menjual buah yang ada di atas pohon dan tampak dan ada yang tidak tampak seperti, mangga, rambutan dan lain-lain. Karena urusan untuk dagang sebagai kebiasaan ‘Urf masyarakat kebanyakan.
k.Al-Istishab
Ibnu Hazm mendefinisikan Al-Istishab: tetapnya hukum asal yang terdapat dalam nas-nas sehingga ada dalil yang merubahnya. Sedangkan menurut Maliki, Syafi’i, Dhohiri, Hambali, istishab adalah hujjah secara mutlak untuk menentukan hukum sampai ada dalil yang merubahnya selama tidak ada dalil yang melarang. Misalnya keadaan orang hilang yang tidak diketahui jejaknya, maka ia mendapat hak yang positif dari yang lain, ia mendapatkan warisan dari orang lain dan mendapat bagian dari warisan tersebut dan berhak baginya wasiat dengan menganggapnya dia masih hidup, dia masih mendapat hak-hak sebagaimana sebelum dia hilang.
2.2 Thaharah
a. Pengertian
Thaharah adalah kebersihan dan terbebas dari segala jenis hadats dan najis. Dalam kitab Lisanul ‘Arab disebutkan thohura thuhran wa thoharotan kata ath thuhur berarti lawan dari haidl.

b. Pembagian Thaharah
Thaharah menurut syariat terbagi menjadi dua bagian, yaitu thaharoh dari hadats dengan cara berwudu dan mandi atau tayamum sebagai pengganti keduanya. Serta thaharah dari hubuts.
1) Wudhu
            Dalil yang mewajibkan wudhu:
ياايهاالذين آمنواإذاقمتم إلى الصلاة فاغسلوا وجوهكم و أيديكم إلى المرافق و امسحوا برئوسكم و أرجلكمإلى الكعبينز (المائدة : ٦)
Artinya : “Wahai orang-orang yang beriman apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka
  basuhlah mukamu dan tanganmu sampai siku, dan sapulah kepalamu dan basuhlah
  kakimu sampai dengan kedua mata kaki. (al-Maidah 6)
لا يقبل اللّه صلاة بغير طهور و لا صدقة من غلول (بخارى)
Artinya : Allah SWT tidak menerima shalat seseorang tanpa bersuci serta shadaqah dari
   tipuan”
حديث أبى هريرة رضي الله عنه: عن رسول اللّه ص م فال: إنّ اللّه لا يقبل صلاة أحدكم إذا أحدث حتّى يتوضّأ (بخرى و مسلم)
Artinya : Diriwayatkan dari Abi Hurairah Radliallahu‘anhu, katanya Rasulullah SAW
bersabda: “Tidak akan diterima shalat seseorang yang berhadats sehingga dia berwudlu”. (Bukhari dan Muslim)
a) Siapa dan kapan diwajibkan wudhu itu
Yang diwajibkan berwudlu adalh Aqil dan Baligh. Adapun waktu yang mewajibkan wudhu adalah ketika hendak mendirikan shalat.
                                    b) Tata cara wudhu
وعن حمران انّ عثمان رضي اللّه عنه دعا بوضوء فغسل كفّيه ثلاث مرّات ثمّ تمضمض و استنشق و استنثر ثمّ غسل وجحه ثلاث مرّات ثمّ غسل يده اليمن حتّى ينتهي إلى المرفق ثلاث مرّات ثمّ اليسرى مثل ذلك ثمّ مسح برأسه ثمّ غسل رجله اليمن إلى الكعبين ثلاث مرّات ثمّ البسرى مثل ذلك ثمّ قال: رأيت رسول اللّه ص م توضّأ نحو وضوء هذا. (متّفق عليه)
Artinya: Dari Humran bahwa Utsman R.A. meminta air wudhu lalu ia mencuci kedua telapak tangannya tiga kali, kemudian berkumur-kumur dan memasukkan air ke dalam hidungnya lalu menghembuskannya, kemudian ia membasuh wajahnya tiga kali, kemudian ia mencuci tangan kanannya hingga siku tiga kali, kemidian yang kiri seperti itu, kemudian ia mengusap kepalanya, kemudian mencuci kaki kanannya hingga mata kaki tiga kali, kemudian yang kiri seperti itu, kemudian berkata, “Aku melihat Rasulallah SAW berwudhu seperti wudhuku ini. (Muuttafaqu ilaihi)
Masalah 1: para ulama memperdebatkan “apakah niat termasuk syarat sah wudhu?”
Dalam hadits Rasulullah SAW : "إنّما الأعمال بالنّيات"yang artinya sesungguhnya segala amal perbuatan tergantung pada niatnya.
Imam Maliki, Syafi’I dan Ahmad mengatakan bahwa niat disini termasuk syarat sah wudhu alasannya adalah karena mereka memahami bahwa wudhu ini adalah ibadah mahdah sehingga membutuhkan niat.
Imam Hanafi mengatakan bahwa niat itu bukanlah syarat sah wudhu karena beliau berpendapat bahwa wudhu termasuk ibadah ghairu mahdah.
Masalah 2: Hukum membasuh tangan.
Menurut Imam Syafi’I dan Imam Malik mengkatagorikan bahwa membasuh tangan itu adalah sunnah alasannya mereka memahami hadits dibawah ini tidak menunjukkan kepada perintah wajib
إذا إستيقظ أحدكم من نومه فلا يغمس يده في الإناءحتّى يغسلها ثلاثا فإنّه لا يدرى أين باتت يده (متّفق عليه و هذا الللّفظ لمسلم)
Apabila bangun seseorang diantara kamu dri tidurnya maka janganlah ia selamkan tangannya di bejana sebelum ia cuci tiga kali karena ia tidak tau dimana telah bermalam tangannya. (Muttafaqun ‘Alaih, tetapi ini lafadzh muslim)
Imam Abu Dawud mengatakan bahwa membasuh tangan itu wajib jika orang tersebut baru terbangun dari tidurnya karena ia memahami hadits ini menunjkkan perintah wajib serta kata naum diartikan tidur secara umum. Baik siang atau malam.
Imam Ahmad membedakan antara tidur malam dengan tidur siang. Jika tidur malam berhukum wajib sedangkan tidur siang tidak wajib karena Ia memahami bahwa kata tidur dalam hadits tersebut diartikan dengan tidur malam saja.
Masalah 3: Hukum Istinsyak dan Madhmadhah.
Menuru Maliki, Syafi’I dan Hanafi dua perbuatan ini berhukum sunnah
Sedangkan menurut Abu Dawud dan Ibn Abu Lail kedua hal ini berhukum wajib
Dan menurut Abu Tsaur dan Abu Ubaidah Istinsyakberhukum wajib sedangkan madmadhahberhukum sunnah karena Rasulullah SAW berkata:
إذا توضّأ أحدكم فاليجعل في أنفسه ماء ثمّ الينثر
Artinya: Jika salah seorang diantara kamu berwudhu maka masukkanlah air di dalam hidungmu lalu keluarkan
Mereka memahami bahwa istinsyak hanyalah merupakan contoh dari Rasul sedangkan madmagha adalah contoh sekaligus perintah berdasarkan dalil di atas.
Masalah 4: Menyentuh
Syafi’i: kalau orang yang berwudlu menyentuh wanita lain tanpa ada batas, maka wudlunya batal, tapi kalau bukan wanita lain seperti saudara wanita, maka wudlunya tidak batal.
Hanafi: wudlu itu tidak batal kecuali dengan menyentuh yang sentuhan itu dapat menimbulkan ereksi pada kemaluan.
Syafi’I dan Hambali: menyentuh itu dapat membatalkan wudlu secara mutlak, baik sentuhan dengan telapak tangan maupun dengan belakangnya.
Maliki: ada hadits yang mereka riwayatkan yang membedakan antara menyentuh dengan telapak tangan. Yakni, jika ia menyentuh dengan telapak (bagian depan), maka membatalkan, tapi jika menyentuh dengan belakangnya, maka tidak membatalkan wudlu.
Hal-hal yang membatalkan wudlu
Semua yang membatalkan wudhu juga membatalkan tayamum. Karena tayamum adalah pengganti wudhu.
عن أنس ابن مالك قال: كان أصحاب رسول اللّه ص م على عهده ينتظر العشاء حتّى تخفق رئوسهم ثمّ يصلّون و لا يتوضّئون. (أخرجه أبو داود و صحّحه الدّار قطنيّ و أصله فى مسلم)
Artinya: Dari Anas bin Malik ia berkata, “Para sahabat Rasulullah SAW pada masa beliau, menunggu shalat isya hingga kepala mereka mengangguk-angguk kemudian mereka shalat dan tidak berwudhu lagi. (Abu Dawud dan diShahihkan oleh Ad-Darul Qathni dan asalnya terdapat dalam Sahih Muslim)
Terdapat ikhtilaf yang berkaitan dengan hadits yang terdapat diatas, yaitu mengenai masalah tidur itu sendiri. Adapun perbedaan ikhtilaf itu adalah :
Pertama, bahwa tidur itu muthlak membatalkan wudlu dalam kondisi apapun, berdasarkan dari hadits Shafwan bin Assal. Dimana dalam hadits tersebut dikatakan bahwa Beliau menjadikan tidur secara muthlak, seperti buang air besar dan buang air kecil dalam membatalkan wudlu. Sedangkan, dengan redaksi bagaimanapun diriwayatkan tidak terdapat keterangan bahwa Rasulullah Saw. membiarkan mereka atas hal itu, dan Beliau tidak melihat mereka. Dengan demikian maka hal itu adalah perbuatan sahabat yang tidak diketahui bagaimana ia terjadi, sedang yang dapat dijadikan hujjah hanyalah ucapan, perbuatan, atau yang dibiarkan oleh Rasulullah Saw.
Kedua, bahwa tidur tidak membatalkan wudlu secara muthlak berdasarkan hadits yang telah disebutkan oleh Annas dan cerita tidurnya sahabat atas sifat yang terjadi pada mereka. Seandainya tidur membatalkan wudlu,niscaya Allah Swt. tidak akan membiarkan mereka atas hal itu dan akan menurunkan wahyu kepada Rasulullah Saw. berekenaan dengannya,
Ketiga, bahwa tidur membatalkan semuanya, hanya saja dimaafkan tidur dengan dua kali anggukan meskipun berturut-turut, dan beberapa anggukan secara terpisah, ini adalah Madzhab Hadawiyah. Al Khafaqah adalah miringnya kepala karena kantuk, dan batasan satu anggukan yaitu kepala tidak tegak hingga bangun. Barang siapa kepalanya tidak miring dimaafkan baginya sekitar satu anggukan yaitu hanya sekedar condongnya kepala hingga dagu sampai ke dada. Hal ini diqiyaskan atas tidur satu anggukan. Mereka memahami hadits Annas atas kantuk yang tidak menghilangkan kesadaran, pendapat ini tidak diragukan lagi kejauhannya.
Keempat, bahwa tidur tidak membetalkan wudlu dengan sendirinya tetapi hanyalah penyebab batalnya wudlu, maka jika tidur dengan duduk dalam posisi tenang maka tidak membatalkan dan jika tidak maka dapat membatalkan. Ini adalah madzhab Imam Syafi’i. Ia berdalil dengan hadits Ali Radhiyallalu ‘anhu :
Artinya : “ Mata adalah pengikat dubur, maka barang siapa yang tidur hendaklah ia berwudlu.”
Hadits ini dihasankan oleh Tirmidzi, akan tetapi pada sanadnya ada perawi yang tidak dapat dijadikan hujjah, yaitu Baqiyah bin Al Walid, ia meriwayatkan dengan ungkapan ‘an, ia menjadikan hadits Anas bagi tidur dalam posisi tegak, untuk memadukan dua hadits tersebut dan membatasi hadits Shafwan dengan hadits Ali ra ini. Ia berkata, “ Makna hadits Ali ra bahwa tidur adalah penyebab keluarnya sesuatu tanpa terasa, maka dengan itu, tidur membatalkan wudlu dengan sendirinya.
Kelima, jika tertidur dalam posisi orang yang sedang shalat, ruku’, sujud, ataupun berdiri maka wudlunya tidak batal, baik dalam shalat maupun dikuar shalat. Maka jika tertidur dalam keadaan berbaring atau diatas tengkuknya, wudlunya batal berdasarkan hadits ,”Apabila seorang hamba tertidur dalam sujudnya, Allah membanggakannya dihadapan para malaikat, Dia berkata, “Hamba-Ku, ruhnya di sisi-Ku, dan tubuhnya sujud di hadapan-Ku.”
Keenam, bahwa batal, kecuali orang yang sedang ruku’ atau sujud.
Ketujuh, tidur tidak batal ketika dalam shalat.
Kedelapan, tidur tidak membatalkan wudlu jika sedikit, tetapi jika tidur nyenyak maka membatalkan wudlu.
Perbuatan yang disyaratkan untuk berwudlu
1.Menyentuh Al-Qur’an
Menurut Imam Syafi’I, imam Malik, dan Abu Hanifah, bahwasannya berwudlu itu wajib bagi yang akan menyentuh Al-Qur’an. Sedangkan Ahlu Dzohir berpendapat bahwa boleh menyentuh Al-Qur’an tanpa berwudlu terlebih dahulu. Sebabnya adalah dalam mengartikan kata muthahharuun, apakah bani adam ataukah malaikat. Dan apakah khobar tersebut untuk melarang atau tidak.
2)  Mandi
Mandi terbagi menjadi 2 bagian yaitu mandi ‘urfi yaitu mandi sebagaimana umumnya dilakukan setiap orang dalam rangka membesihkan badannya untuk menghilangkan kotoran dan keringat yang menempel. Sedangkan mandi syar’I adalah salah satu bentuk bersuci/thaharah yang wajib dilakukan karena hal-hal tertentu yang ditetapkan syariah.
وإن كنتم جنباَ فاطهروا
Hal-hal yang mewajibkan mandi
1.Keluarnya darah perempuan:
Ada 3 macam darah perempuan yang keluar serta mewajibkan
      seseorang mandi besar yaitu:
 - Haidl: darah yang keluar setiap bilan secara wajar
 - Isthadhah: darah penyakit
-Nifas: dara yang keluar setelah melahirkan
2.Bersetubuh
عن أبى سعيدالحدريّ رضي الله عنه قال رسول الله صلّ الله عليه وسلم:"الماء من الماء"(رواه مسلم)
Dari Abu said Alkhudri Radiyalahu Anhu, dia berkata: “Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wai ssallam bersabda ‘air itu dari air’” (HR. Muslim lafadznya dari Albukhori)

Masalah 1: Tata cara Wudhu
حديث عائسة قالت:كان رسول الله صلّ الله عليه وسلم إذاإغتسل من الجنابة يبدأ فيغسل بيديه ثمّ يفرغ بيمينه على شماله فيغسل فرجه، ثمّ يتوضأ وضوءه للصلاة
Para ulama berbeda pendapat dalam merumuskan syarat mandi serta anggota badan yang menjadi rukun mandi. Hal yang menjadi perbedaan adalah apakah membersihkan badan dengan cara menggoskan tangan keseluruh tubuh itu wajib atau dicukupkan dengan menyiramkan air keseluruh tubuh saja tanpa menggosokan tangan? Mayoritas ulama dan Imam sepakat akan hal ini. Tetapi sebagian lain tidak. Perbedaan pandangan di kalangan ulama ini timbul dikarenakan ada beberapa ulama yang mengqiyaskan mandi dengan wudlu sehingga berwudlu sebelum mandi tidaklah wajib dilakukan tetapi mennggosok anggota tubuh adalah wajib. Tetapi ada pula pandangan lain yang tidak mengqiyaskan mandi dengan dengan wudlu sehingga mandi dicukupkan dengan mengguyurkan air saja keseluruh tubuh tanpa menggosoknya. Keterangan ini berdasarkan hadist ummu Salamah tatkala ia bertanya pada rasulullah tentang mandi janabatnya dan rasul menjawab “cukuplah bagimu mengguyurkan air sebanyak 3 siangan keatas kepalamu” dan istilah ini disebut iisqootuddalki

Masalah 2: Pelafalan niat. Hal ini pun sama halnya dengan ikhtilaf talafudz dalam berwudlu. Imam malik, Imam Syafi’I, Imam Ahmad serta Abu tsauri dan Daud berpendapat bahwa niat adalah syarat sahnya mandi. Sedangkan Abu haifah membolehkan mandi tanpa talaffudz niat.
Selain itu perihal berkumur dan mmebasuh lubang hidung juga dipandang berbeda oleh para ulama sebagaimana dipandang berbeda dalam rukun wudlu. Malik dan Syafi’I tidak menganggap kedua hal tersebut sebagai rukun mandi. Sedangkan abu hanifah menjadikannya dalam sebagai rukun.

Imam Malik berkata berdasarkan suatu riwayat: Air itu bersih, sedikit atau banyak. Sedang mazhab yang lain, berpendapat : Jika air itu sedikit menjadi najis, dan jika banyak tetap suci. Meskipun demikian, mereka berbeda pendapat dengan ukuran banyak sedikitnya
Imam Malik tidak memberikan penjelasan tentang dua kullah dan karra, dan tidak ada ukuran tertentu bagi air pada mazhab mereka, sedikit atau banyak sama saja. Yang penting, jika air itu berubah salah satu dari sifat-sifatnya, maka air menjadi najis; jika tidak, ia tetap suci
Maliki,seperti telah kami jelaskan, berpendapat bahwa air yang sedikit tidak menjadi najis dengan hanya bersentuhan de­ngan najis, dan tidak ada beda antara air yang mengalir dan air yang tenang. Jelasnya, mereka tidak memperhatikan perubahan air itu karena najis. Jika air itu berubah karena bersentuhan dengan najis, maka ia menjadi najis. Sebaliknya jika air itu tidak mengalami perubahan apa-apa, maka hukumnya tetap suci, baik sedikit mau” pun banyak, memancar atau tidak
Maliki berpendapat: Menyucikan air yang terkena najis itu dapat dengan cara mencurahkan air muthlaq di atasnya hingga hilang sifat najis itu.
BAB III
PENUTUP
3.1 KESIMPULAN
Imam Malik adalah pendiri madzhab Maliki, ia di kenal di Madinah maupun di luar Madinah sebagai pakar hukum dan pakar hadis. Ia hidup di masa kekhalifahan Umayyah dan Abbasiyah, namun ia lebih banyak hidup pada era Abbasiyah.
Hampir sebagian besar kehidupannya, digunakan untuk mengajar dan menelaah ilmu yang disebarkan kepada murid-muridnya. Tidak kurang dari tujuh puluh tahun lamanya Imam Malik tidak kenal lelah mengajarkan ilmunya yang dikuasainya.
Setelah tampil Imam Malik dengan pemahaman tersendiri tentang ajaran Islam, maka orang berbondong-bondong dari berbagai penjuru datang ke Madinah untuk belajar kepada Imam Malik penuh sesak oleh orang-orang yang ingin menimba ilmu kepada Imam Malik.
---
Daftar pustaka
http://kasyifabutik.blogspot.co.id/2013/06/bersuci-menurut-empat-madzhab.html
Ibid,168http://ngajingelmu.blogspot.co.id/2010/11/imam-malik-dan-pemikirannya.html
https://riwayat5imammadzahb.wordpress.com/riwayat-5-imam-madzahb/bab1-thaharah/

Makalah ini ada versi power pointnya, bisa diunduh di Slideshare
http://www.slideshare.net/rinzani_642/thaharah-bersuci?qid=06cce40e-213d-4ea4-97da-15e0c5b717f9&v=&b=&from_search=1


Semoga Bermanfaat

*Kalian bisa request ingin makalah atau proposal apa..
Tapi harus berhubungan dengan pelajaran..

Komentar

Postingan populer dari blog ini

LPJ (Laporan Penanggungjawaban) Donor Darah Sukarela

Pendidikan lingkungan hidup (PLH) tentang polusi tanah